PAJAK DAERAH DAN KEMANDIRIAN FISKAL DAERAH
Oleh : Pardomuan Gultom, S.Sos., S.H., M.H. (YLBH Keadilan Semesta Berencana)
Seiring dengan meningkatnya kondisi perekonomian Indonesia, kinerja Penerimaan Pajak terlihat semakin optimis. Berdasarkan data yang dirilis oleh Kemenkeu, pada akhir Maret 2023, realisasi Penerimaan Pajak mencapai Rp279,98 triliun atau tumbuh 40,35 persen (year-on-year/yoy). Realisasi tersebut setara dengan 16,30 persen Target Penerimaan Pajak yang ditetapkan APBN 2023. Capaian yang kuat pada periode ini merupakan dampak dari tiga faktor utama, antara lain harga komoditas yang tinggi, pertumbuhan ekonomi yang impresif, serta dampak dari implementasi UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) (Kemenkeu, Maret 2023).
Sumber penerimaan negara yang terbesar bersumber dari pajak penghasilan, sehingga pemerintah terus berupaya meningkatkan target penerimaan negara dengan berbagai cara, baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi pajak, seperti sunset policy, tax amnesty, pengenaan pajak bagi UMKM dengan PP Nomor 46/2013 (yang diperbaharui dengan pemberian insentif pajak dengan PP No 23/2018). Namun demikian, pemberlakuan tersebut dirasa masih belum memberikan keadilan bagi Wajib Pajak (WP), sehingga dipandang perlu untuk menetapkan UU HPP, yang telah diberlakukan pada tahun 2022 yang lalu.
Dari sisi fiskal, pemerintah berupaya mendorong keberhasilan pelaksanaan UU HPP agar mampu memperkuat sisi penerimaan negara. Upaya peningkatan basis perpajakan, kepatuhan perpajakan, serta perbaikan sistem administrasi perpajakan, menjadi faktor yang sangat penting dalam pelaksanaan UU HPP. Selain itu, penerapan sistem teknologi informasi di Direktorat Jenderal Pajak (Core Tax Administration System) juga diharapkan dapat mendorong penerimaan negara.
Pajak Daerah dan Problem Kemandirian Fiskal
Pajak daerah menjadi penyumbang terbesar Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar 76,9 persen atau Rp 88,7 triliun (meningkat 14,11 persen year-on-year) hingga Mei 2023. Hal ini disampaikan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dalam Konferensi Pers APBN KiTa Edisi Juni 2023, pada 26 Juni 2023 lalu (Kontan, 26/6). Namun, perlu dicermati bahwa semenjak otonomi daerah digulirkan tahun 1999, kemandirian fiskal dalam konteks pengelolaan keuangan daerah masih belum tercapai.
Hal ini dapat dilihat dari pemanfaatan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) yang belum tepat, dengan rata-rata ketergantungan daerah, baik provinsi maupun kabupaten, di tahun 2021 menunjukkan angka 80,1 % (Bisnis.com, 6/8/2021). Peningkatan kualitas outcome belum terbentuk dari peningkatan nilai TKDD sehingga indikator kesejahteraan antardaerah masih mengalami ketimpangan (Riyono, 2020).
Sebagai instrumen kebijakan fiskal, TKDD merupakan salah satu komponen Belanja Negara yang mempunyai peranan sangat penting dalam memperkuat implementasi desentralisasi fiskal untuk mempercepat pembangunan daerah dengan tujuan utama meningkatkan kualitas layanan publik (public service delivery) dan kesejahteraan masyarakat (social welfare) (Christia dan Ispriyarso, 2019).
Belum terbentuknya kemandirian fiskal daerah terlihat dari jumlah dana transfer terus meningkat dari Rp 81,05 triliun (2001) menjadi Rp 812,97 triliun (2019) dan sedikit menurun di tahun 2020 sebagai dampak pandemi Covid-19 menjadi Rp 762,54 triliun. Di sisi lain, peran PAD sebagai sumber pendapatan APBD terus menunjukkan peningkatan rasio terhadap total pendapatan daerah dari 14,69% (2001) menjadi 23,67% (2020)(BKF, 2022). Kondisi ini memperlihatkan bahwa dana transfer dari APBN menjadi sumber utama pendapatan APBD, yang selama dua dekade (dari 2001 hingga 2021) porsinya rata-rata sebesar 66,81% dari total pendapatan daerah. Pengelolaan TKD masih belum memadai untuk mengungkit peningkatan pelayanan, perekonomian, dan kesejahteraan di daerah dikarenakan pengelolaan TKD belum mendorong belanja daerah yang berbasis pada kinerja, baik kinerja realisasi penggunaan dana maupun kinerja ketercapaian output (Naskah Akademik RUU HKPD, 2021).
Muncul pertanyaan kemudian bagaimana UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) dapat menguatkan eksistensi pajak daerah sebagai instrumen kemandirian fiskal daerah?
APBD Masih Tergantung Dana Perimbangan
Tantangan utama implementasi UU No. 33 Tahun 2004 dan UU 28 Tahun 2009, yaitu Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) serta Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), sebagai salah satu komponen utama desentralisasi fiskal, ialah belum adanya perbaikan yang signifikan terhadap pemerataan layanan publik dan kesejahteraan masyarakat atas berbagai capaian indikator ekonomi dan sosial, seperti Indeks Pembangunan Manusia, tingkat kemiskinan, Angka Harapan Hidup, Produk Domestik Regional Bruto, dan ketimpangan kemampuan keuangan antarkelompok masyarakat.
Selain itu, APBD dan APBN sebagai satu kesatuan kebijakan fiskal nasional belum selaras dan sinergis dengan optimal. Kondisi ini berdampak pada kebijakan fiskal nasional yang memiliki fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi belum bekerja secara signifikan dalam mewujudkan tujuan bernegara.
Meskipun kebijakan pembatasan jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang diikuti dengan adanya perluasan basis pajak daerah dan pemberian kewenangan penetapan tarif, secara nominal mengalami peningkatan sejak pemberlakuan UU No. 28 Tahun 2009 (Santoso, 2017), namun secara proporsional belum memperlihatkan perkembangan yang signifikan. Hal ini terlihat dari pendapatan APBD kabupaten/kota, yang dalam kurun waktu 10 tahun (dari 2010 hingga 2019) masih menunjukkan ketergantungan pada Dana Perimbangan (Kemenkeu, 2019).
Penguatan Pajak Daerah
Bentuk hubungan pemerintah pusat-daerah dalam bingkai desentralisasi fiskal dalam UU HKPD bertitik tumpu pada 4 (empat) pilar utama, yakni: mengembangkan sistem perpajakan yang mendukung alokasi sumber daya nasional yang efisien (local taxing power), mengembangkan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dalam meminimalkan ketimpangan vertikal dan horizontal melalui kebijakan TKD dan Pembiayaan Utang Daerah, mendorong peningkatan kualitas Belanja Daerah, serta harmonisasi kebijakan fiskal antara Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan layanan publik yang optimal dan menjaga kesinambungan fiskal .
Terkait pilar kedua, yaitu penguatan local taxing power, restrukturisasi pajak dilakukan melalui reklasifikasi 5 (lima) jenis pajak yang berbasis konsumsi menjadi satu jenis pajak, yaitu Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). Hal ini dilakukan untuk menyelaraskan objek pajak antara pajak pusat dan pajak daerah, menyederhanakan administrasi perpajakan, memudahkan pemantauan pemungutan pajak terintegrasi oleh daerah, mempermudah masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakan sekaligus mendukung kemudahan berusaha.
Pemerintah Pusat juga memberikan kewenangan pemungutan Opsen Pajak, yaitu pungutan tambahan pajak menurut persentase tertentu, yang merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi tanpa menambah beban Wajib Pajak (WP). Opsen Pajak juga diharapkan mendorong peranan daerah untuk melakukan ekstensifikasi perpajakan. Opsen atas Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) menggantikan bagi hasil PKB dan BBNKB sekaligus mempercepat penerimaan pemerintah kabupaten/kota.
Selain itu, Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) merupakan sumber penerimaan baru yang dapat digunakan untuk mendanai kewenangan provinsi dalam penerbitan dan pengawasan izin MBLB guna memperkuat fungsi penerbitan izin dan pengawasan kegiatan pertambangan di daerah. Pemungutan Opsen Pajak ini menuntut sinergi yang baik antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota.
Pemerintah juga memperluas basis pajak melalui sinergi pajak pusat dan daerah, seperti valet parkir, objek rekreasi dan sebagainya. Penyederhanaan retribusi dilakukan melalui rasionalisasi jumlah retribusi yang diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. Rasionalisasi retribusi dilakukan agar retribusi yang akan dipungut daerah dapat dipungut dengan efektif, serta dengan biaya pemungutan dan biaya kepatuhan yang rendah.
Terkait dengan penguatan local taxing power, UU HKPD dapat menciptakan ruang bagi otonomi daerah dalam menetapkan tarif dengan sistem batas maksimal dan tidak memungut pajak yang potensinya tidak memadai. Sebagai suatu instrumen fiskal, kebijakan desentralisasi fiskal menjadi tools pendanaan dalam penyelenggaran fungsi dan kewenangan yang telah diserahkan pusat kepada daerah, dengan tetap menjaga keselarasan dan kesinambungan stabilitas ekonomi nasional. Oleh sebab itu, kerangka pendanaan ke daerah pun disusun dengan mempertimbangkan aspek yang memungkinkan daerah memiliki diskresi dan tanggung jawab untuk menentukan prioritas dalam mengelola keuangannya secara disiplin, efisien, produktif, dan akuntabel.