ANALISIS YURIDIS TERHADAP HUKUM NIKAH SIRI BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1983Oleh : KHOLIL ARKHAM HAKIM, S.H (UIN Prof. K.H Saifuddin Zuhri Purwokerto)
Nikah siri masih menjadi topik pembahasan yang hangat diperbincangkan bahkan hingga diperdebatkan bagi orang awam maupun bagi pakar hukum. Kepopuleran nikah siri disebabkan karena pernikahan ini dianggap sederhana yaitu pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin dan saksi, tidak melalui Kantor Urusan Agama dan tidak dicatat oleh pegawai pencatat nikah sehingga perkawinan tersebut menurut perspektif agama Islam sudah sah selama syarat dan rukun nikah terpenuhi. Ketentuan secara khusus mengenai nikah siri sendiri sampai saat ini masih menjadi perdebatan hukum apabila membenturkan nikah siri ke dalam ranah hukum agama dan hukum positif di Indonesia belum diatur secara rigid di dalam peraturan perundang-undangan yang ada menjadi salah satu faktir penyebabnya. Dalam hukum positif di Indonesia tidak mengenal adanya istilah nikah siri (perkawinan siri), terlebih lagi mengatur secara khusus mengenai perkawinan siri dalam sebuah peraturan perundang-undangan.
Dalam hukum positif suatu perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya serta tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah dari Kantor Urusan Agama (KUA) atau oleh pegawai yang ditunjuk oleh Menteri Agama, sebagaimana di atur dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk, dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang Perkawinan. Akta perkawinan/pernikahan yang disiapkan oleh Pegawai Pencatat kemudian ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan Wali Nikah atau yang mewakilinya. Dengan penandatanganan akta perkawinan tersebut maka perkawinan itu telah tercatat secara resmi dan dianggap sah secara hukum peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menjadi alat bukti yang sah berdasarkan Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.
Pengertian nikah siri yaitu nikah yang dilakukan secara diam-diam atau tersembunyi. Makna diam-diam dan tersembunyi ini memunculkan dua pemahaman yaitu pernikahan yang diam-diam tidak diumumkan kepada khalayak atau pernikahan yang tidak diketahui atau tidak tercatat di lembaga negara. Mengutip laman resmi Binmas Islam Kementerian Agama Republik Indonesia salah satu alasan pasangan memilih pernikahan siri adalah untuk melegalkan secara agama bagi laki-laki yang sudah beristeri karena kesulitan minta ijin/tidak berani izin kepada isteri pertamanya maupun tidak merasa nyaman kepada mertuanya. Alasan tersebut akan menimbulkan konsekuensi hukum tersendiri bagi PNS. Pencatatan perkawinan menjadi kewajiban bagi semua orang yang telah melangsungkan perkawinan termasuk juga PNS. Peraturan yang mengatur kewajiban pencatatan perkawinan bagi PNS tertuang dalam Pasal 2 Peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Dalam pasal tersebut mewajibkan PNS untuk mencatatkan perkawinannya selambatnya-lambatnya satu tahun setelah perkawinan dilaksanakan.
Fenomena pernikahan siri yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil selalu menjadi sorotan bagi khalayak ramai. Dilihat dari sisi status kepegawaian, PNS merupakan abdi negara yang seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat dalam melaksanakan dan mematuhi setiap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Aturan perkawinan bagi PNS telah diatur secara ketat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Ijin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Ijin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. Ketentuan-ketentuan mengenai perkawinan, perizinan perkawinan dan perceraian telah diatur secara jelas dalam peraturan tersebut bahkan sanksi bagi PNS yang melanggar ketentuan tersebut juga diatur. Akan tetapi pembahasan mengenai nikah siri / perkawinan siri dalam peraturan tersebut belum secara rigid di sebutkan, hal inilah yang menjadi celah bagi PNS untuk melakukan perkawinan siri tersebut.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan diatas maka salah satu rumusan masalah yang penting untuk dijelaskan yaitu bagaimana tinjauan hukum bagi PNS yang melakukan perkawinan siri perspektif Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Ijin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.
Penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto (Soejono Soekanto, 2016) adalah koordinasi hubungan antar nilai yang merupakan proses akhir untuk mencapai serta memelihara kehidupan sosial yang damai, yang dijelaskan oleh aturan dan tindakan tetap sebagai rangkaian pemaparan nilai. PNS sebagai seorang abdi negara harus senantiasa memberikan contoh yang baik kepada masyarakat luas. Salah satu bentuknya adalah bersikap disiplin, dengan selalu menjalankan kewajibannya sebaik mungkin dan selalu mematuhi peraturan perundang-undangan yang ada. Klausul mengenai perkawinan siri bagi PNS memang tidak disebutkan didalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983, akan tetapi perlu di cermati ada suatu klausul pada pasal 15 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 yang berbunyi:
“Pegawai Negeri Sipil dilarang hidup bersama dengan wanita atau pria sebagai suami istri tanpa ikatan perkawinan yang sah“
Yang dimaksud dengan hidup bersama adalah melakukan hubungan sebagai suami istri di luar ikatan perkawinan yang sah yang seolah-olah merupakan suatu rumah tangga. Merujuk kepada pengertian perkawinan, perkawinan yang sah bagi PNS harus memenuhi dua syarat yaitu sah secara agama dan sah secara negara artinya perkawinan yang dilakukan PNS harus sah menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya serta perkawinan itu telah tercatat secara resmi oleh Pegawai Pencatat Nikah dari Kantor Urusan Agama (KUA) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Apabila salah satu dari syarat tersebut tidak terpenuhi maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah. Ketika PNS melakukan perkawinan siri maka dapat di kategorikan melanggar ketentuan Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 dengan alasan Pegawai Negeri Sipil hidup bersama dengan wanita atau pria lain sebagai suami istri tanpa ikatan perkawinan yang sah.
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 juga mengatur tentang sanksi bagi PNS yang melanggar ketentuan Pasal 15 ayat 1 berupa teguran langsung dari atasan hal ini didasarkan pada Pasal 15 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 yang berbunyi:
“Setiap atasan wajib menegur apabila ia mengetahui ada Pegawai Negeri Sipil bawahan dalam lingkungannya yang melakukan hidup bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).”
Apabila setelah di tegur oleh atasan PNS yang bersangkutan masih tetap melakukan hal tersebut maka dapat dijatuhi hukuman disiplin berat berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil. Hal ini berdasarkan pada Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 yang berbunyi:
“Pegawai Negeri Sipil yang melakukan hidup bersama dengan wanita atau pria sebagai suami isteri, dan setelah ditegur atasannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 masih terus melakukannya, dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil”
Dari penjelasan diatas PNS yang melakukan perkawinan siri dengan alasan apapun dapat di jatuhi hukuman disiplin PNS. Setiap perkawinan yang dilakukan oleh PNS mempunyai konsekuensi hukum tersendiri. Perkawinan siri memang tidak disebutkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 akan tetapi berdasarkan analisis hukum perkawinan siri bagi PNS dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang melanggar ketentuan yang berlaku. Dapat disimpulkan bahwa PNS yang melalukan perkawinan siri dapat di jatuhi hukuman disiplin PNS karena bertentangan dengan ketentuan yang ada pada Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983.