Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Delik Pers dan Problematika Jurnalistik
Oleh : Yusuf Zainal Abidin S.H (Analis Hukum Kementerian Hukum dan HAM R.I)
Pada tanggal 2 Januari 2023 telah diundangkan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pengesahan ini adalah puncak dari usaha pembaharuan hukum pidana di Indonesia sejak dimulai tahun 1964. Setidaknya terdapat 26 draft Rancangan Undang-Undang KUHP yang telah disusun sampai dengan tahun 2022. KUHP ini menggantikan Wetboek van Strafrecht peninggalan kolonial Belanda yang telah diterapkan di Indonesia sejak tahun 1918. KUHP baru ini memuat 624 pasal, juga mengkodifikasi sejumlah UU lain dan “Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,” demikian bunyi Pasal 624. Artinya, KUHP baru ini mulai berlaku pada 2 Januari 2026.
Sebagian pihak menilai KUHP mengancam dan mencederai kemerdekaan pers juga berbahaya bagi demokrasi. Secara eksplisit terlihat ada upaya pengutamaan mekanisme pemidanaan (delik pers) terhadap karya dan kegiatan jurnalistik. Hal itu bertentangan dengan semangat reformasi yang sudah melahirkan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dewan Pers mensinyalir beberapa pasal krusial yang berpotensi menjadi ancaman bagi pers dan jurnalis. Diantaranya, Pasal yang mengatur tentang tindak pidana penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme (Pasal 188) tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 218-220) tindak pidana penghinaan terhadap Pemerintah (Pasal 240-241), penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong (Pasal 263) menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap (Pasal 264) tentang gangguan dan penyesatan proses peradilan (Pasal 280) tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan (Pasal 300-302), tindak pidana penghinaan ringan (Pasal 436), tindak pidana pencemaran (Pasal 433), tindak pidana pencemaran orang mati (Pasal 439), tindak pidana penerbitan dan pencetakan (Pasal 594-595).
Lantas, apakah benar KUHP ini justru memperkuat kembali pasal-pasal delik pers dan anti demokrasi dalam KUHP lama, yang mana sebagian dari pasal-pasal itu sudah berhasil dijinakkan melalui serangkaian proses amandemen yang didorong kelompok demokrasi sejak era reformasi pasca 1998 atau apakah UU Pers tetap menjadi acuan?
Pertama, Jaminan kebebasan pers. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dalam Pasal 28 berbunyi : “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”, setelah amandemen muncul Pasal 28E ayat (3) yang berbunyi : “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat” dan Pasal 28F UUD 1945 yang berbunyi : “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Pemerintah juga mengeluarkan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin kebebasan pers. Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa kemerdekaan pers merupakan unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis dan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. UU Pers tersebut dengan tegas menjamin adanya kemerdekaan pers sebagai Hak asasi warga negara (Pasal 4) dan terhadap pers nasional tidak lagi diadakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran (Pasal 4 ayat 2). UU Pers ini berbeda dengan UU Pers sebelumnya karena UU ini melindungi pers dari kriminalisasi pihak non-pers maupun kriminalisasi dari kalangan pers sendiri, dimana pihak yang menghambat kerja pers akan dikenakan sanksi pidana (Pasal 18). Begitu juga bagi pers yang tidak kredibel dihadapi dengan cara mengangkat ketentuan etik (hak tolak, hak jawab, hak koreksi) sebagai hukum positif.
Kedua, Terlepas dari perdebatan dan pro-kontra tentang sebagian materi di dalam KUHP, UU ini merupakan karya besar produk legislasi Indonesia, karena sejak 77 tahun kemerdekaan baru saat inilah kita berhasil membentuk KUHP menggantikan KUHP produk kolonial. Adapun delik pers bukanlah terminologi hukum tersendiri melainkan delik umum yang potensial dilakukan kalangan pers. Oleh karena itu menyikapi sengketa suatu produk pers, dalam karya bernilai jurnalistik harus mengacu pada UU Pers. Bahwa perusahan pers adalah berbadan hukum Indonesia (Pasal 1 angka 2 jo Pasal 9 ayat (2) UU Pers) dan mengenai isi adalah terikat pada kode etik jurnalistik (Pasal 1 angka 4 jo Pasal 7 ayat (2) UU Pers). UU Pers memang tidak mengatur secara rigid tentang bagaimana penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa pers, tetapi diharapkan pelibatan Dewan Pers sebagai konsiliator. Dasar ini dikukuhkan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (MA) tanggal 30 Desember 2008, yakni berupa anjuran kepada ketua pengadilan agar meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers dalam memproses kasus pers. Karena tiap terjadi delik pers selalu yang dilanggar lebih dulu adalah kode etik. Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Edward Omar Sharif Hiariej dalam Satu Meja The Forum, Kompas TV, Rabu (7/12/2022) memastikan tidak ada delik pers dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan. Menurutnya kasus yang menyangkut pers akan diselesaikan dengan UU Pers, “Jadi, sebetulnya dengan adanya Undang-Undang Pers itu sudah tidak ada lagi delik pers,” jelasnya. Menurut Wina Armada, pakar hukum pers dan Kode Etik Jurnalistik, “Sepanjang terkait dengan pers, UU Pers bersifat undang-undang yang diutamakan, sehingga semua persoalan pers diatur dan diselesaikan sesuai dengan UU Pers,” ucapnya, Jumat (9/12/2022) (timesindonesia, 2022) menanggapi disahkannya UU KUHP oleh DPR.
Ketiga, dalam melihat kebebasan pers tidak melulu terkait kriminalisasi terhadap insan pers dengan karya jurnalistiknya tetapi juga mengenai tantangan pers kedepan. Presiden Jokowi pada hari pers nasional 2023 mengatakan bahwa dunia pers sedang tidak baik-baik saja. Presiden menilai, isu utama dunia pers saat ini bukan lagi mengenai kebebasan pers melainkan pemberitaan yang bertanggung jawab. Pers sekarang ini mencakup seluruh media informasi yang bisa tampil dalam bentuk digital. Semua orang bebas membuat berita dan sebebas-bebasnya. Sekarang ini masalah yang utama adalah membuat pemberitaan yang bertanggung jawab Karena masyarakat kebanjiran berita dari media sosial dan media digital lainnya, termasuk platform-platform asing. Dan umumnya tidak be-redaksi, atau dikendalikan oleh AI. Algoritma raksasa digital cenderung mementingkan kepentingan sisi komersial saja dan hanya akan mendorong konten-konten recehan yang sensasional (Setkab HPN: 2023).
Pada era digital ini, bermunculan berbagai media dan pemberitaan yang menggampangkan proses dan menurunkan kualitas, budaya media gabungan (mixed media culture) adanya jurnalisme klikbait (clickbait journalism), berita bohong /hoaks, serangan digital sebagai upaya membungkam kemerdekaan pers, seperti doxing, DdoS, penyadapan (hacking), perundungan siber (cyber bullying) sampai kepada pelabelan hoax terhadap pemberitaan yang kesemuanya telah menggeser fungsi jurnalisme sebagai upaya menyajikan laporan yang terverifikasi.
Dapat dipahami, tugas utama jurnalis sesungguhnya adalah menyampaikan kebenaran, meski Kegiatan pers melalui perusahaan tapi berkomitmen kepada publik. Oleh karena itu sudah seharusnya pers dapat menjadi media pengawas yang dijamin kebebasannya dalam menjalankan profesinya sehingga pemberitaan dapat dituangkan secara utuh tanpa ada rasa takut atau dibawah ancaman. Begitupun dalam mengimplementasikan kebebasannya tentu saja tetap ada batas etik dan hukum yang mengikat pers, seperti peliputan harus independen, berimbang, menghormati asas praduga tak bersalah, mengembangkan partisipasi dan ruang publik yang beradab, memberikan analisis, dan interpretasi terhadap permasalahan sosial, politik, dan ekonomi yang rumit serta memperkenalkan gagasan atau ide, tidak boleh menyembunyikan informasi dengan alasan mendapatkan liputan eksklusif, tidak terkesan memberikan legitimasi maupun glorifikasi terhadap tindakan terorisme dan pelakunya, tidak menimbulkan kecemasan, bias prasangka dan mewajarkan konflik, demikian pula dengan polarisasi maupun partisan politik. Kesemua hal ini Jika dibiarkan berjalan tanpa kontrol dan tanggung jawab dapat berpotensi menjadi media agitasi yang mempengaruhi psikologis masyarakat.
Kesimpulan
Kebebasan pers tidak terelakkan lagi merupakan suatu unsur penting dalam pembentukkan suatu sistem bernegara yang demokratis. Pers sebagai media informasi merupakan pilar keempat setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Inti dari demokrasi adalah adanya ruang publik bagi masyarakat dalam sebuah keputusan, diperlukan partisipasi masyarakat dan peran pers sangatlah penting dalam membentuk pola pikir masyarakat. Dengan demikian kepentingan pribadi, kelompok, atau kepentingan pemilik media harus selalu di tempatkan di bawah kepentingan publik. Melakukan kontrol sosial, kritik, koreksi, dan memberikan saran-saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.
Sejatinya Pers Indonesia telah memiliki standar yang cukup baik sejak disahkannya UU Pers dan dilengkapi Kode Etik Jurnalistik meski demikian, tidak semua insan pers telah menerapkan kualitas profesional dan bertanggung jawab dalam membuat pemberitaan. Meskipun karya jurnalistik bukanlah tindak pidana, dengan mekanisme hak jawab dan hak koreksi sebagai sebentuk sanksi sosial di mana media mengaku bersalah di hadapan khalayaknya atas berita yang terlanjur dipublikasikan. Dalam rezim demokratis, sanksi semacam ini dianggap lebih efektif untuk mendisiplinkan media. Dalam pada itu penguatan fungsi dewan pers harus dioptimalkan untuk memberikan sanksi hukum yang mendesak pelanggar etika jurnalistik yang nantinya memberikan pengaruh terhadap penguatan kemerdekaan dan kebebasan pers.